Kaidah 2
اَلْيَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
Al-Yaqiin Laa Yazulu bis Syakk
(Yakin Tidak Bisa Gugur Disebabkan Keraguan)
Sebelum membahas tentang makna اَلْيَقِيْنُ dan اَلشَّكُّ dalam kaidah ini. Terlebih dahulu harus diketahui tentang 4 tingkatan ilmu (مَرَاتِبُ الْعِلْمِ), yaitu sebagai berikut.
1. اَلْوَهْمُ (Al-Wahm), yaitu mengetahui sesuatu dengan dugaan lemah.
2. اَلشَّكُّ (As-Syakk), yaitu mengetahui sesuatu dengan dugaan yang sama antara dua kemungkinan.
3. اَلظَّنُّ (Adz-Dzhann), yaitu mengetahui sesuatu dengan dugaan yang kuat.
4. اَلْعِلْمُ (Al-‘Ilmu), yaitu mengetahui sesuatu sebagaimana kenyataan yang sebenarnya. Dan tingkatan ilmu terbagi lagi menjadi tiga, yaitu;
- عِلْمُ الْيَقِيْنِ (‘Ilmul Yaqin), yaitu mengetahui dengan pasti berdasarkan ilmunya.
- عَيْنُ الْيَقِيْنِ (‘Ainul Yaqin), yaitu mengetahui dengan pasti setelah melihatnya langsung sehingga bertambah keyakinannya.
- حَقُّ الْيقِيْنِ (Haqqul Yaqin), yaitu mengetahui dengan pasti setelah merasakannya / menyentuhnya langsung sehingga semakin bertambah keyakinannya.
Contoh, seorang muslim di dunia yakin tanpa ragu akan adanya surga dan neraka maka keyakinan tersebut adalah ‘ilmul yaqin. Di padang mahsyar kelak, surga dan neraka diperlihatkan kepada seluruh manusia, saat itu keyakinan terhadap surga dan neraka menjadi ‘ainul yaqin. Setelah ahlul jannah dimasukkan ke dalam surga dan ahlun nar dimasukkan ke dalam neraka, maka keyakinan akan surga dan neraka menjadi haqqul yaqin.
Berdasarkan 4 tingkatan ilmu ini, yang dimaksud اَلْيَقِيْنُ (yaqin) dalam kaidah adalah tingkatan yang ke empat yaitu tingkatan اَلْعِلْمُ (al-‘ilmu). Sedangkan, maksud اَلشَّكُّ (syakk) dalam kaidah adalah mencakup tiga tingkatan di bawah al-‘ilmu yaitu tingkatan اَلْوَهْمُ (al-wahm), tingkatan اَلشَّكُّ (as-syakk), dan tingkatan اَلظَّنُّ (adz-dzhann). Sehingga sesuatu yang sebelumnya yaqin (tingkatan ke empat), hukumnya tidak akan hilang dengan wahm, syakk, dzhann (tingkatan pertama, kedua, dan ketiga).
Dalil-Dalil Tentang Kaidah
Diantara dalil tentang kaidah ini adalah hadits dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia pernah mengadukan kepada Nabi mengenai seseorang yang biasa merasakan sesuatu dalam shalatnya. Nabi pun bersabda,
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
“Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” (HR Bukhari no. 177 dan Muslim no. 361).
Sisi pendalilannya : orang ini melaksanakan shalat dalam keadaan yakin suci karena sebelumnya dia telah berwudhu. Namun di tengah shalatnya dia ragu antara batal atau tidak, karena merasakan ada kentut tetapi tidak yakin. Maka keraguan yang muncul belakangan tidak bisa membatalkan apa yang sebelumnya telah yakin yaitu keadaan suci.
Dalam hadits yang lain, dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi bersabda,
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
“Apabila kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat maka buanglah keraguan itu, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Lalu jika ternyata shalatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim 1300)
Sisi pendalilannya : orang ini ragu apakah dia baru melaksanakan tiga rakaat atau sudah empat rakaat, atau dengan kata lain dia yakin telah melaksanakan tiga rakaat akan tetapi dia masih ragu apakah dia sudah menyelesaikan rakaat ke empat atau belum. Maka dalam hal ini Nabi menyuruhnya untuk menambah satu rakaat dan mengembalikan keraguannya tadi kepada yakinnya yaitu tiga rakaat.
Dua hadits di atas adalah diantara dalil sekaligus bentuk terapan langsung kaidah. Diantara penerapan yang lain dari kaidah ini adalah dalam masalah takfir (pengafiran). Apabila seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadat yang memasukkannya dalam Islam atau dia telah berislam sejak lahirnya, maka tidak boleh mengeluarkannya dari Islam (mengafirkannya) karena melihatnya melakukan pembatal-pembatal keislaman dengan penglihatan yang meragukan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Apabila seseorang telah masuk Islam dengan keyakinan maka dia tidak boleh dikeluarkan dengan keraguan.” Bahkan apabila seseorang telah melakukan pembatal keislaman namun belum terpenuhi syarat dan belum hilang penghalang pengafiran maka tetap tidak boleh dikafirkan dan dikeluarkan dari Islam.
Telah dimaklumi bahwa para ulama telah bersepakat akan kafirnya orang yang mengatakan Al-Quran itu makhluk, bersamaan dengan itu Imam Ahmad tidak mengafirkan Khalifah Al-Makmun yang bahkan memaksa rakyatnya mengucapkan kalimat kekafiran tadi, hal ini karena Imam Ahmad menganggap adanya syubhat yang menyimpangkan keyakinan Al-Makmun.
Kaidah-Kaidah Turunan dari Kaidah Kedua
1. اَلْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ (Hukum asalnya, kondisi sekarang tidak berubah dari kondisi sebelumnya)
Beberapa contoh penerapan kaidah :
- Tentang kisah sahabat yang telah bersuci namun setelah itu ditimpa ragu antara batal atau tidak, sebagaimana yang telah berlalu haditsnya. Maka hukum asalnya adalah dia tetap suci sebagaimana sebelumnya dia telah bersuci hingga terjadi/melakukan suatu hal yang dapat membatalkannya.
Keadaan sebaliknya, berlaku pula kaidah ini. Misalnya ketika seseorang masuk ke toilet untuk buang hajat pada pukul 9 pagi, lalu ketika dia ingin melaksanakan shalat dhuhur dia ragu apakah dia sudah bersuci atau belum. Maka keadaan seperti ini dikembalikan kepada perkara yang dia yakini yaitu hadats, dan tidak mengambil apa yang meragukannya yaitu suci. Sehingga dia wajib bersuci apabila mau shalat. - Seseorang yang sahur, namun karena mati listrik dia tidak bisa mendengar adzan sebagai tanda terbit fajar. Kemudian beberapa saat muncul keraguan apakah sudah terbit fajar atau belum. Maka yang dia lakukan adalah dia kembalikan kepada keadaan yang sebelumnya telah dia yakini yaitu بَقَاءُ الَّيْلِ (tetapnya waktu malam), dan dia singkirkan keadaan setelahnya yang masih meragukannya yaitu waktu fajar.
Sebaliknya, seseorang yang ingin berbuka tetapi dia masih ragu apakah matahari sudah terbenam atau belum. Maka hendaknya dia menunda buka puasa sampai yakin akan terbenamnya matahari, karena hukum asalnya adalah tetapnya waktu siang.Catatan : kecuali dalam beberapa hal yang dibolehkan memakai ghalabatuz zhann (persangkaan kuat), apabila tidak mungkin mengembalikannya kepada keyakinan. Seperti ketika sahabat berpuasa dan saat itu langit sedang mendung, mereka kemudian berbuka puasa (setelah melakukan ijtihad) karena mereka menyangka dengan sangkaan kuat bahwa matahari telah terbenam, padahal beberapa saat kemudian mendung berakhir dan matahari belum terbenam. Maka puasa para sahabat tidaklah batal karena mereka juga tidak bisa mengembalikannya kepada hal yang yakin yaitu masih siang.
2. اَلأَصْلُ فِيْ أُمُوْرِ الْعَارِضَةِ اَلْعَدَمُ (Hukum asal dalam perkara yang baru adalah tidak ada sampai ada bukti)
Beberapa contoh penerapan kaidah :
- Dua orang yang berserikat melakukan mudharabah, satu sebagai pemodal satu sebagai pekerja. Keuntungan yang didapatkan nanti akan dibagi dua. Setelah berlalu beberapa tempo, si pemodal minta kepada si pekerja untuk memberikan sebagian untung yang telah didapatkan. Namun si pekerja menolak karena merasa belum mendapatkan untung. Maka dalam kasus ini, yang dimenangkan adalah si pekerja yang mengatakan belum mendapatkan untung. Karena hukum asalnya adalah belum mendapatkan untung. Sedangkan klaim si pemodal bisa diterima jika ia punya bukti bahwa transaksi tersebut memang telah mendapatkan untung.
- Dua orang misal si A dan si B, si A berhutang kepada si B. Lalu setelah jatuh tempo, si B menagih si A, tetapi A merasa dia telah melunasinya. Jika A tidak punya bukti bahwa dia telah melunasinya, maka klaim A tidak dianggap karena hukum asalnya masih berhutang (belum lunas) dan klaim A adalah klaim baru.
Atau dalam kondisi sebaliknya, tiba-tiba suatu ketika A mengklaim bahwa B telah berhutang kepadanya, sedangkan B merasa tidak berhutang. Maka klaim A juga tidak dianggap karena hukum asalnya belum ada transaksi hutang sebelumnya, sedangkan klaim A adalah klaim baru.
3. اَلْأَصْلُ إِضَافَةُ الْحَدَثِ إِلَى أَقْرَبِ وَقْتِهِ (Hukum asalnya adalah menyandarkan kejadian pada sebab terdekat)
Beberapa contoh penerapan kaidah :
- Seorang laki-laki yang mimpi basah dan menjumpai ada air mani yang telah mengering di celananya, namun dia ragu dia mimpi basah kapan. Misalnya, dia melihat air mani di celananya selasa sore, namun dia ragu apakah mimpinya di malam selasa atau malam senin atau bahkan malam-malam sebelumnya lagi. Maka saat itu dia memilih malam selasa, karena sebab yang paling dekat adalah karena tidur pada malam selasa, walaupun pada kenyataannya mimpinya adalah pada malam senin. Sehingga apabila dia menyadarinya di hari selasa sore, maka dia cukup mengulangi dua shalat yaitu shalat shubuh dan dhuhurnya hari selasa, adapun shalat yang di hari senin tidak perlu diulangi.
- Seorang wanita yang keguguran setelah perutnya dipukul oleh seorang laki-laki jahat. Sebelum dipukul, perempuan tersebut juga melakukan sebab-sebab yang bisa menggugurkan kandungannya, seperti mengangkat barang-barang yang berat. Lantas penyebab kegugurannya disandarkan ke siapa, apakah karena perempuan itu sendiri atau laki-laki tadi? Jawabannya adalah ke laki-laki tadi, karena dia yang melakukan penyebab terdekat dari waktu keguguran, walaupun sebenarnya diantara penyebab utamanya juga adalah karena perempuan itu sendiri yang telah melakukan pekerjaan berat sebelumnya.
4. اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ اَلْإِبَاحَةُ (Hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh)
Kaidah ini berdasarkan firman Allah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah Dzat yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kalian.” (QS Al-Baqarah : 29)
Allah juga berfirman:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ۚ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat”. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS Al-A’raf : 32)
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Al-An’am : 145)
Semua ayat di atas menunjukkan bahwa hukum asal segala sesuatu baik berupa makanan, minuman, dan selainnya itu hukumnya halal kecuali yang dikecualikan oleh Allah dalam ayat-ayat lain atau dari hadits-hadits Nabi. Demikian pula dalam segala aktivitas non ibadah yang tidak ada dalil yang mengharamkannya oleh Allah maka hukum asalnya boleh.
5. اَلْأَصْلُ فِي الْجِمَاعِ التَّحْرِيْمُ (Hukum asal dalam masalah kemaluan adalah haram)
Maksudnya adalah hukum asal berhubungan dengan wanita adalah haram kecuali ada penghalalnya seperti telah sah sebagai suami istri atau sebagai budak. Dalilnya adalah firman Allah,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. ” (QS Al Mu’minun: 5-7)
Dalam hadits, Nabi bersabda,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ
“Bertakwalah pada Allah terhadap para wanita karena kalian telah mengambil mereka dengan perlindungan dari Allah, kalian telah meminta kehalalan kemaluan mereka dengan kalimat Allah.” (HR Muslim no. 1218)
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa asalnya kemaluan wanita diharamkan sampai dihalalkan dengan kalimat Allah, maksudnya adalah melalui akad nikah. Konsekuensinya, diharamkan menyetubuhi wanita jika hanya ada keraguan, wanita itu istrinya atau bukan.
Dalam hadits yang lain,
أبي سِرْوَعة عقبة بن الحارث -رضي الله تعالى عنه- أنه تزوج ابنة لأبي إهاب بن عزيز فأتته امرأة فقالت: إني قد أرضعت عقبة، والتي قد تزوج بها، فقال لها عقبة: ما أعلم أنك أرضعتني، ولا أخبرتني، فركب إلى رسول الله -صلى الله عليه وسلم- بالمدينة فسأله، فقال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: (كيف وقد قيل؟) ففارقها عقبة، ونكحت زوجاً غيره
Bahwasanya Abu Sirwa’ah ‘Uqbah bin Al-Harits bahwa dia mengawini putri dari Abu Ihab bin ‘Aziz lalu datang seorang wanita dan berkata, “Sungguh aku pernah menyusui ‘Uqbah dan wanita yang sekarang dikawininya.” Kemudia ‘Uqbah berkata kepadanya, “ Aku tidak tahu kalau kamu telah menyusui aku dan kamu tidak memberitahu aku.” Maka dia pergi menuju keluarga Abu Ihab untuk menanyakan mereka, maka mereka berkata, “Kami tidak tahu kalau wanita itu telah menyusui perempuan-perempuan kami.” Lalu dia mengendarai tunggangan untuk menemui Nabi di Madinah lalu dia bertanya, maka Rasulullah bersabda, “Mau bagaimana lagi, wanita itu sudah mengatakannya.” Maka ‘Uqbah menceraikan istrinya itu lalu menikahi wanita lain. (HR Bukhari no. 88)
Di dalam hadits di atas nampak bahwa keraguan itu menjadi ada apakah istrinya itu benar halal baginya atau tidak. Tetapi karena hukum asal kemaluan wanita adalah haram, sementara status pernikahannya belum jelas atau muncul sesuatu yang meragukan tentang status penghalalannya (karena sepersusuan), maka kembali ke hukum asal yaitu tidak sah.
Bersambung Insya allah…